Batu Gantung (Legenda Kota Parapat)
Sumatra Utara - Indonesia
Rating : 2.8 (87 pemilih)
Diceritakan kembali oleh Samsuni
Parapat
atau Prapat adalah sebuah kota kecil yang berada di wilayah Kabupaten
Simalungun, Sumatera Utara, Indonesia. Kota kecil yang terletak di tepi
Danau Toba ini merupakan tujuan wisata yang ramai dikunjungi oleh
wisatawan domestik maupun mancanegara. Kota ini memiliki keindahan alam
yang sangat mempesona dan didukung oleh akses jalan transportasi yang
bagus, sehingga mudah untuk dijangkau. Kota ini sering digunakan
sebagai tempat singgah oleh para wisatawan yang melintas di Jalan Raya
Lintas Sumatera (Jalinsum) bagian barat yang menghubungkan Kota Medan dengan Kota Padang.
Selain
sebagai objek wisata yang eksotis, Parapat juga merupakan sebuah kota
yang melegenda di kalangan masyarakat di Sumatera Utara. Dahulu, kota
kecil ini merupakan sebuah pekan[1]
yang terletak di tepi Danau Toba. Setelah terjadi suatu peristiwa yang
sangat mengerikan, tempat itu oleh masyarakat diberi nama Parapat atau
Prapat. Dalam peristiwa itu, muncul sebuah batu yang menyerupai manusia
yang berada di tepi Danau Toba. Menurut masyarakat
setempat, batu itu merupakan penjelmaan seorang gadis cantik bernama
Seruni. Peristiwa apa sebenarnya yang pernah terjadi di pinggiran kota
kecil itu? Kenapa gadis cantik itu menjelma menjadi batu? Ingin tahu
jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Batu Gantung berikut ini!
* * *
Alkisah,
di sebuah desa terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara,
hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang
cantik jelita bernama Seruni. Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin
membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu
mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya
digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Pada
suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang
tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh
seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang,
gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil
memandangi indahnya alam Danau Toba. Sepertinya ia sedang menghadapi
masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut
duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa
yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu menggonggong
untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap saja
usik dengan lamunannya.
Memang
beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat
sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang
pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara
dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah
tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin
mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika
harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak
sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa.
“Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh Seruni.
Beberapa
saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai
air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu
ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing
curam itu. Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil
menggonggong.
Dengan
pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau
Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba
ia terperosok ke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke
dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang
itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang
yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak
merapat hendak menghimpitnya.
“Tolooooggg……! Tolooooggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.
Si
Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia
tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut
lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki
benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus
asa.
“Ah, lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita,” pasrah Seruni.
Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat.
“Parapat[2]… ! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..
Sementara
si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong
di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun
segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan.
Sesampai
di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang
kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.
“Auggg…!
auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk
memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan
bahaya.
“Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.
“Pak, sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya,” sahut ibu Seruni.
“Ibu benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya,” kata ayah Seruni.
“Tapi hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?” kata ibu Seruni.
“Ibu siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga,” seru sang ayah.
Tak
lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah
Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke
tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju
ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil
mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada
warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu.
Kedua
orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya
ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir
ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang
wanita: “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!”
“Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu Seruni panik.
“Benar, bu! Itu suara Seruni!” jawab sang ayah ikut panik.
“Tapi, kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?” tanya sang ibu.
“Entahlah, bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana,” jawab sang ayah cemas.
Pak
Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar
lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.
“Seruniii…! Seruniii… !” teriak ayah Seruni.
“Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.
Beberapa
kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya
suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk
menghimpitnya.
“Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”
“Seruniiii… anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.
Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga mengulurkan seutas tampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar
itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan
keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke
dalam lubang batu.
“Bu, pegang obor ini!” perintah sang ayah.
“Ayah mau ke mana?” tanya sang ibu.
“Aku mau menyusul Seruni ke dalam lubang,” jawabnya tegas.
“Jangan ayah, sangat berbahaya!” cegah sang ibu.
“Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang warga.
Akhirnya
ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar
suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat.
Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir
Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga
berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan
mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat
diselamatkan dari himpitan batu cadas.
Beberapa
saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar
yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada
dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai
bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batu cadas di
dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama “Batu Gantung”.
Beberapa
hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis
itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat
“Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan
kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar
suara: “Parapat… parapat batu… parapatlah!”
Oleh
karena kata “parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang
menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian
diberi nama “Parapat”. Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah
satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara,
Indonesia.